Ijtihad Kontemporer dalam Penyembelihan Dam Jamaah Haji di Indonesia: Menanggapi Tantangan Praktik d

  • 04:37 WITA
  • Admin FSH
  • Artikel

 

Penyembelihan dam bagi jamaah haji yang melakukan pelanggaran dalam manasik merupakan aspek yang sangat penting dalam fikih haji. Secara konvensional, pelaksanaan dam ini dilakukan di Tanah Haram, sesuai dengan anjuran yang terdapat dalam berbagai kitab fikih klasik. Para ulama dari beragam mazhab sepakat bahwa penyembelihan dam sebaiknya dilakukan di sekitar Mekah, sebagai bagian dari kesempurnaan ibadah haji. Namun, dalam konteks saat ini, muncul diskusi mengenai kemungkinan untuk melaksanakan penyembelihan dam di negara asal jamaah haji, termasuk di Indonesia, yang menimbulkan perdebatan dalam ranah fikih dan administrasi.

Pernyataan dari Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latif, yang menyatakan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan opsi penyembelihan dam di Indonesia, menunjukkan adanya kecenderungan untuk melakukan reformasi dalam pelaksanaan ibadah haji demi efisiensi dan transparansi. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap berbagai kendala teknis yang dihadapi di Arab Saudi, seperti ketidakjelasan dalam proses penyembelihan serta distribusi daging dari hewan dam. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ijtihad yang baru untuk menjawab tantangan ini secara kontekstual.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Nomor 22 Tahun 2023 memberikan landasan hukum yang kuat untuk pelaksanaan dam di luar Tanah Haram dalam kondisi tertentu. Fatwa ini menegaskan bahwa meskipun idealnya penyembelihan dilakukan di Tanah Haram, terdapat kelonggaran hukum jika ada kesulitan, hambatan administratif, atau demi kemaslahatan yang lebih besar. Pendekatan ini mencerminkan fikih yang dinamis, yang mampu merespons perkembangan zaman dan kebutuhan umat, tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah.

Di lapangan, muncul berbagai masalah terkait pelaksanaan dam di Arab Saudi, seperti ketidakpastian dalam proses penyembelihan, kurangnya bukti fisik, serta distribusi daging yang tidak transparan. Di sisi lain, jika penyembelihan dam dilaksanakan di Indonesia, prosesnya dapat diawasi dengan lebih baik, daging dapat disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, dan dapat berkontribusi pada pemberdayaan ekonomi peternak lokal. Pendekatan ini sejalan dengan maqāṣid al-syarī‘ah, terutama dalam menjaga harta, menegakkan keadilan sosial, dan memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.

Namun, pelaksanaan dam di luar Tanah Haram tetap memerlukan standar fikih dan administratif yang jelas. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan lembaga amil zakat untuk memastikan bahwa penyembelihan memenuhi syarat sah ibadah, baik dari segi waktu, tata cara, maupun distribusinya. Dengan demikian, pendekatan ini bukan hanya sekadar solusi praktis, tetapi juga bagian dari reaktualisasi fikih yang menjawab kebutuhan masyarakat Muslim modern secara bertanggung jawab.

Pada akhirnya, isu penyembelihan dam di luar Tanah Haram mencerminkan fleksibilitas hukum Islam dalam menghadapi tantangan zaman. Ijtihad kontemporer memungkinkan hukum Islam untuk tetap relevan dan kontekstual tanpa kehilangan esensinya. Islam sebagai agama yang membawa rahmat tidak memaksakan bentuk ibadah yang memberatkan jika ada alternatif yang sah secara syariat dan memberikan maslahat secara sosial. Inilah karakter Islam yang solutif dan progresif.