Penyembelihan
dam bagi jamaah haji yang melakukan pelanggaran dalam manasik
merupakan aspek yang sangat penting dalam fikih haji. Secara konvensional,
pelaksanaan dam ini dilakukan di Tanah Haram, sesuai dengan anjuran yang
terdapat dalam berbagai kitab fikih klasik. Para ulama dari beragam mazhab
sepakat bahwa penyembelihan dam sebaiknya dilakukan di sekitar Mekah, sebagai
bagian dari kesempurnaan ibadah haji. Namun, dalam konteks saat ini, muncul
diskusi mengenai kemungkinan untuk melaksanakan penyembelihan dam di negara
asal jamaah haji, termasuk di Indonesia, yang menimbulkan perdebatan dalam
ranah fikih dan administrasi.
Pernyataan dari
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latif, yang menyatakan bahwa pemerintah
sedang mempertimbangkan opsi penyembelihan dam di Indonesia, menunjukkan adanya
kecenderungan untuk melakukan reformasi dalam pelaksanaan ibadah haji demi
efisiensi dan transparansi. Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap
berbagai kendala teknis yang dihadapi di Arab Saudi, seperti ketidakjelasan
dalam proses penyembelihan serta distribusi daging dari hewan dam. Oleh karena
itu, diperlukan pendekatan ijtihad yang baru untuk menjawab tantangan ini
secara kontekstual.
Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) Nomor 22 Tahun 2023 memberikan landasan hukum yang kuat
untuk pelaksanaan dam di luar Tanah Haram dalam kondisi tertentu. Fatwa ini
menegaskan bahwa meskipun idealnya penyembelihan dilakukan di Tanah Haram,
terdapat kelonggaran hukum jika ada kesulitan, hambatan administratif, atau
demi kemaslahatan yang lebih besar. Pendekatan ini mencerminkan fikih yang
dinamis, yang mampu merespons perkembangan zaman dan kebutuhan umat, tanpa
mengabaikan prinsip-prinsip dasar syariah.
Di lapangan,
muncul berbagai masalah terkait pelaksanaan dam di Arab Saudi, seperti
ketidakpastian dalam proses penyembelihan, kurangnya bukti fisik, serta
distribusi daging yang tidak transparan. Di sisi lain, jika penyembelihan dam
dilaksanakan di Indonesia, prosesnya dapat diawasi dengan lebih baik, daging
dapat disalurkan kepada masyarakat yang membutuhkan, dan dapat berkontribusi
pada pemberdayaan ekonomi peternak lokal. Pendekatan ini sejalan dengan maqāṣid
al-syarī‘ah, terutama dalam menjaga harta, menegakkan keadilan sosial, dan
memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat.
Namun,
pelaksanaan dam di luar Tanah Haram tetap memerlukan standar fikih dan
administratif yang jelas. Diperlukan kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan
lembaga amil zakat untuk memastikan bahwa penyembelihan memenuhi syarat sah
ibadah, baik dari segi waktu, tata cara, maupun distribusinya. Dengan demikian,
pendekatan ini bukan hanya sekadar solusi praktis, tetapi juga bagian dari
reaktualisasi fikih yang menjawab kebutuhan masyarakat Muslim modern secara
bertanggung jawab.
Pada akhirnya, isu
penyembelihan dam di luar Tanah Haram mencerminkan fleksibilitas hukum Islam
dalam menghadapi tantangan zaman. Ijtihad kontemporer memungkinkan hukum Islam
untuk tetap relevan dan kontekstual tanpa kehilangan esensinya. Islam sebagai
agama yang membawa rahmat tidak memaksakan bentuk ibadah yang memberatkan jika
ada alternatif yang sah secara syariat dan memberikan maslahat secara sosial.
Inilah karakter Islam yang solutif dan progresif.