MENAKAR HUKUM CADAR Oleh: Muammar Bakry

  • 28 November 2019
  • 12:00 WITA
  • Admin FSH
  • Berita

        Mereka yang berpendapat bahwa cadar itu wajib bagi perempuan didasari pada pemahaman QS. Annur: 31 (…Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka…)  dan QS. Alahzab: 53 Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…)

        Berdasarkan ini maka ulama dahulu hanya memperdebatkan posisi antara sunah dan wajib. Tidak ada yang menyatakan cadar itu sebagai budaya.  Tekanan perintah pada potongan ayat “mintalah dari belakang tabir“, menunjukkan keharusan ada tirai seperti cadar agar tidak terlihat langsung wajah istri Nabi. 

        Memang wajah menjadi mahkota seseorang, maka zinah (hiasan) yang paling berharga dalam diri manusia adalah wajah. Seseorang akan menjadi menarik sangat ditentukan oleh wajah, karena itu entry point ketertarikan dari fitnah yang bisa muncul adalah wajah. Artinya jika wajah menarik maka tubuh yang lain ikut menarik, mungkin sebaliknya demikian. Dengan demikian, menutup wajah perempuan adalah langkah antisipatif agar laki laki tidak teperdaya dengan kecantikan perempuan. Demikian kira kira sebagian dari pandangan ulama yang pro terhadap cadar.

        Berbeda dengan mayoritas ulama Al-Azhar sebagai Lembaga Pendidikan Islam yang moderat tertua di dunia. Para ulama Al-Azhar seperti Syekh Thanthawi  berpendapat bahwa cadar adalah budaya bukanlah ibadah yang bernilai fardhu (keharusan). Para ulama fikih sepakat bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat. Bahkan lebih dari 13 ahli tafsir dalam acara Majma al-Buhuts al-Islamiyah sepakat bahwa memakai cadar adalah bukti ekstrim dalam beragama. Syekh Thanthawi juga pernah mengeluarkan larangan memakai cadar dalam kampus apalagi saat ujian berlangsung. Namun jika perempuan ingin memakai di luar kampus hukumnya boleh. 

        Hamdi Zaqzuq (mantan Menteri Waqaf) juga menyatakan bahwa memakai cadar menghalangi komunikasi dalam bersilaturahim antara satu dengan lainnya. Baginya, memakai cadar bukanlah bentuk kebebasan seseorang tapi justru menekan kebebesan manusia. Karena itu memang perlu memahami dengan baik dan benar secara proporsional seperti yang diajarkan syariah.

        Syekh Ali Jum’ah juga berpendapat bahwa hijab adalah perintah Islam yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadis. Tapi cadar yang menutupi wajah bukanlah suatu kewajiban. Jumhur ulama dari Hanafiyah, Malikiyah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa aurat perempuan adalah semua badannya kecuali wajah dan telapak tangannya. 

        Nashr Faried mantan Mufti Mesir menyatakan bahwa  cadar bukanlah wajib kecuali dalam keadaan darurat karena kekhawatiran munculnya fitnah. Boleh jadi fitnah karena kecantikan wajah wanita atau sebaliknya.Tidak ada dalil agama mewajibkan perempuan untuk menutup wajahnya, bahkan perempuan ketika haji dan melaksanakan salat wajib terbuka wajahanya.

        Dalam sejarah pakaian, cadar sendiri telah dipakai sebelum datangnya Islam. Yahudi sebagai agama tertua di muka bumi mensyariatkan kepada umatnya untuk menggunakannya. Demikianlah Alharidim sebagai kelompok ekstrim minoritas yang sangat ketat menjalankan syariah yahudi. Haridim diartikan ketakwaan dengan mengisolasi diri. 

        Perempuan kelompok ini menggunakan cadar seperti halnya muslimat yang menggunakannya. Seorang kolumnis California John Robert pernah menulis di koran “Your Jewish News”, bahwa pakaian “haredi burka sect” menjadi kebanggan perempuan yahudi sebagai simbol menjalankan ajaran yahudi dengan baik.

        Memang pakaian adalah pilihan, di sana ada nilai dan pengaruh agama, ideologi, budaya, seni dan lain sebagainya. Segalanya bisa menjadi relatif karena perbedaan sudut pandang seseorang. Dengan demikian menetapkan hukum cadar adalah domain ulama yang memiliki kualifikasi dalam menetapkan hukum. Pilihannya satu di antara lima, atau kelima-limanya benar tergantung kondisinya. 

        Bisa jadi wajib jika ada fitnah yang luar biasa bakal terjadi jika tak menggunakannya. Bisa jadi sunat jika merasa dapat menambah ketaatan. Bisa jadi Haram atau makruh jika bahaya sosial yang dapat menghawatirkan ketenangan masyarakat. Dan mungkin yang paling bijak hukumnya adalah mubah, boleh pakai boleh tidak. Kita menanti Fatwa Majlis Ulama Indonesia.