fsh.uin-alauddin.ac.id., Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar menggelar Seminar Nasional, yang berlangsung di Gedung Auditorium UIN Alauddin Makassar, Kamis (08/09/2022).
Seminar Nasional dengan tema “Nikah Beda Agama Perspektif Yurisprudensi, Hukum Positif dan Fatwa” menghadirkan narasumber: Prof. Dr. H. Sabri Samin, BA., M.Ag., (Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum), Dr. H. Muammar Muhammad Bakry, Lc., M.Ag., (Dekan FSH UINAM / Sekretaris MUI Sulawesi Selatan), dan Dr. H. Syamsul Bahri, SH., MH. (Hakim Tinggi PTA DKI Jakarta), serta dipandu oleh Prof. Dr. H. Kasjim Salenda, M.Th.I. (Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum).
Dr H Syamsul Bahri menjelaskan, dalam perspektif hukum Islam perkawinan beda agama itu dilarang.
“Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 44 berbunyi seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam,” ujarnya.
“Berarti, ketika dia pria muslim kemudian wanita nonis (Beragama selain Islam) boleh,” tambahnya.
Jika mengacu pada hukum positif yang berlaku di Indonesia, Ia menjelaskan, terdapat narasi-narasi pertimbangan yang memperbolehkan perkawinan beda agama.
“Beberapa narasi pertimbangan yang dituangkan putusan pengadilan seperti ketentuan Pasal 35 Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan yang menjadikan pasangan kawin beda agama sah jika mendapat penetapan pengadilan,” jelasnya.
Perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang beda agama.
Menurut Dia, ketentuan tersebut pada dasarnya merupakan ketentuan yang memberikan kemungkinan dicatatkannya perkawinan yang terjadi di antara seseorang yang berbeda agama setelah adanya penetapan pengadilan.
Selain itu, menilik Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat 3, lanjutnya, memungkinan diperbolehkannya perkawinan beda agama.
“Ketentuan dalam PP No. 9 Tahun 1975 pasal 10 ayat 3 memberikan kemungkinan dapat dilangsungkannya perkawinan yaitu dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Perkawinan dilaksanakan di hadapan pegawai pencatat dengan dihadiri dua orang saksi,” tuturnya.
Senada dengan itu, Dr Muhammad Muammar Bakry Lc M Ag menjelaskan, dalam UU No. 16 Tahun 2019 Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa."Menurut KBBI nikah adalah perjanjian perkawinan antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran agama," ujarnya.
Sekretaris MUI Sulawesi Selatan itu mengungkapkan, Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengharamkan dan tidak sah perkawinan beda agama.
"Perkawinan laki-laki muslim dengan wanita Ahlu Kitab,menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah," jelasnya.