OPINI : Pancasila dalam Kepungan Oligarki

  • 31 Mei 2025
  • 09:36 WITA
  • Admin FSH
  • Berita

Pancasila, sebagai dasar negara dan falsafah hidup bangsa Indonesia, mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat inklusif, egaliter, dan berorientasi pada keadilan sosial. Namun, dalam konteks kekinian, Pancasila menghadapi tantangan serius dari penetrasi ideologi oligarki yang semakin merasuki ruang-ruang kebijakan dan struktur kekuasaan negara.

Ideologi oligarki, dalam pengertian klasik, merujuk pada konsentrasi kekuasaan dan sumber daya pada segelintir elite ekonomi dan politik yang saling menopang dalam jaringan kepentingan sempit. Fenomena ini memperlihatkan kontradiksi tajam dengan sila keempat dan kelima Pancasila yang menekankan pada demokrasi dan keadilan sosial.

Dalam praksis politik kontemporer Indonesia, penetrasi oligarki terlihat dari bagaimana pemilik modal besar mendominasi partai politik, memengaruhi regulasi, dan mengarahkan kebijakan publik sesuai kepentingannya. Maka, oligarki tidak lagi sekadar wacana, melainkan telah menjadi struktur kuasi permanen dalam politik Indonesia.

Secara teoretis, Pancasila mengusung prinsip musyawarah untuk mufakat dalam pengambilan keputusan politik. Namun dalam praktik oligarkis, proses musyawarah sering kali dimanipulasi demi legitimasi kekuasaan segelintir elit. Dengan demikian, terjadi distorsi terhadap nilai-nilai deliberatif yang dikandung oleh pancasila.

Dari aspek keadilan sosial, sila kelima menjadi benteng utama melawan ketimpangan. Tetapi realitas menunjukkan bahwa ketimpangan ekonomi Indonesia semakin memburuk, sebagaimana yang dilansir oleh BPS yang masih tinggi. Ini merupakan bukti empirik bahwa Pancasila tidak berjalan sebagaimana mestinya dalam sistem oligarkis.

Kampas baru dalam pembahasan ini adalah kerangka berpikir kritis yang menempatkan pancasila tidak sekadar sebagai simbol atau retorika politik, tetapi sebagai ideologi tanding terhadap dominasi oligarki yang cenderung eksploitatif dan eksklusif.

Menariknya, beberapa pihak justru mencoba menyandingkan pancasila dan oligarki dalam satu tarikan nafas, seolah-olah keduanya dapat berjalan beriringan dalam kerangka demokrasi prosedural. Pandangan ini cenderung pragmatis dan menyesuaikan pancasila sebagai alat legitimasi status quo.

Dalam sintesis ini, penting untuk menelaah apakah relasi antara pancasila dan oligarki bersifat antagonistik atau simbiotik. Jika antagonistik, maka pancasila mesti digunakan sebagai perangkat kritik terhadap dominasi elite. Jika simbiotik, maka perlu ditinjau kembali keaslian nilai-nilai pancasila dalam ruang praksis.

Di sisi lain, keberadaan oligarki dianggap “tak terhindarkan” oleh sebagian analis, mengingat kondisi ekonomi-politik global yang menuntut efisiensi dan kontrol sumber daya oleh pihak yang “kompeten.” Namun pandangan ini mengabaikan aspek etika dan tanggung jawab sosial sebagaimana diamanatkan pancasila.

Dalam perspektif hukum, pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum seharusnya memayungi kebijakan publik yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, bukan pada akumulasi modal segelintir pihak. Tapi dalam kenyataan, banyak kebijakan agraria, energi, hingga pendidikan yang justru memperlebar ketimpangan sosial.

Penetrasi ideologi oligarki juga terlihat dari masifnya politik uang dalam pemilu, yang mengubah demokrasi menjadi pasar bebas kekuasaan. Ini menandai degradasi nilai sila keempat Pancasila (demokrasi yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan) menjadi sekadar prosedur elektoral yang manipulatif.

Di sinilah terjadi konfrontasi epistemik antara dua ideologi: pancasila sebagai ideologi keadilan versus oligarki sebagai ideologi dominasi. Keduanya tidak saling mendukung secara substansial, tetapi saling bertentangan dalam hal orientasi nilai dan tujuan sosial.

Namun demikian, muncul juga perdebatan bahwa dalam sistem demokrasi ekonomi modern, peran oligarki bisa “dikendalikan” melalui institusi negara yang kuat. Argumen ini menempatkan pancasila sebagai tameng institusional yang memagari eksploitasi kekuasaan, meski efektivitasnya masih dipertanyakan.

Realitas menunjukan bahwa oligarki sering memanfaatkan simbol-simbol pancasila untuk meraih legitimasi publik. Misalnya, penggunaan jargon "gotong royong" dalam proyek-proyek swasta yang justru menguntungkan elite tertentu dan membebani masyarakat. Ini mencerminkan kooptasi ideologi untuk kepentingan ekonomi-politik.

Kampas baru dalam analisis ini adalah pendekatan kritis-progresif yang tidak berhenti pada diagnosis masalah, tetapi mendorong revitalisasi pancasila dalam kebijakan publik yang partisipatif dan berkeadilan. Di sinilah peran intelektual dan masyarakat sipil menjadi krusial.

Harus diakui, bahwa dalam sistem oligarkis, peluang partisipasi rakyat sangat terbatas. Pancasila menjadi sekadar dokumen normatif tanpa daya dorong perubahan, kecuali jika terjadi reformasi struktural yang membuka ruang kontrol publik yang efektif.

Kesadaran kritis atas kondisi ini penting untuk membangun kontra-wacana terhadap dominasi oligarki. Pancasila harus dibangkitkan bukan sebagai ideologi netral, melainkan ideologi emansipatoris yang membebaskan rakyat dari ketimpangan dan eksploitasi. Jika tidak, maka Pancasila akan terus berada dalam kepungan, direduksi menjadi simbol nasionalisme kosong tanpa pengaruh nyata dalam tata kelola negara. Ini adalah peringatan keras bahwa oligarki bukan sekadar lawan politik, tetapi juga tantangan ideologis.

Oleh karena itu, pertempuran ideologis ini harus dilihat sebagai perjuangan untuk merebut kembali ruang-ruang publik, menata ulang relasi kuasa, dan mengembalikan esensi pancasila sebagai alat perjuangan rakyat, bukan alat legitimasi elite.

Dengan demikian, pancasila dalam kepungan ideologi oligarki merupakan ajakan untuk membongkar kebekuan retorika negara dan mendorong pembaharuan praksis kebangsaan yang berpihak pada rakyat. Konflik antara keduanya adalah konflik antara idealisme konstitusional dan realisme kekuasaan yang hanya bisa dijembatani melalui kesadaran politik yang radikal dan bertanggung jawab.

by : Usman Jafar